Kamis, 20 Oktober 2011

wisata ke trans studio makassar

Trans Studio Resort Makassar adalah kawasan wisata terpadu di Makassar, Indonesia. Trans Studio dibangun seluas 12,7 hektare dengan investasi mencapai Rp 1 triliun. Proyek ini diresmikan pada 9 September 2009 oleh Bapak Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla.[1] Fasilitas yang dibangun di antaranya pusat perbelanjaan yang meliputi Trans Walk dan Trans Rodeo Drive, kemudian Trans Studio, Trans Hotel, serta kantor Bank Mega. Di dalam Trans Studio Resort ini nantinya akan dijumpai :

* Trans Studio Theme Park: pusat rekreasi indoor berkelas internasional
* Trans Studio Mall: pusat perbelanjaan kelas dunia yang artistik dan nyaman

Pada tahap selanjutnya akan segera dibangun juga :

* 2 Hotel internasional berbintang 5 dan 3
* Residential apartment serta marina

Semua itu dibangun di area seluas 24 hektar dan akan menjadi area resor terluas dan terlengkap di Indonesia Timur.


Balla Lompoa, Istana Kesultanan Gowa

ISTANA Tamalate dan Balla Lompoa adalah sisa-sisa Istana Kerajaan Gowa yang sekarang berfungsi sebagai museum. Di dalamnya terdapat berbagai harta pusaka peninggalan Kerajaan Gowa pada zaman keemasannya.

Istana Tamalate dan Balla Lompoa terletak bersebelahan dalam satu kompleks di Sungguminasa, Gowa. Jarak lokasi ini sekitar 15 kilometer sebelah selatan pusat Kota Makassar (Lapangan Karebosi).

Kompleks Kerajaan Gowa ini tepat berada di pusat Ibu Kota Kabupaten Gowa, Sungguminasa, Bangunan itu sama-sama berbentuk rumah panggung. Warnanya coklat tua, seluruhnya terbuat dari kayu ulin atau kayu besi. Tampak jelas usia bangunan ini tak lagi muda. Luas komplek adalah 1 hektare dan dikelilingi tembok tinggi.

Bangunan Istana Tamalate lebih besar dari Balla Lompoa. Adalah istana pertama Kerajaan Gowa sebelum kota raja dipindahkan ke dalam Benteng Somba Opu. Tapi Istana Tamalate yang sekarang berdiri di kompleks tersebut sebenarnya bukan bangunan istana yang asli. Karena yang asli sudah punah terkubur masa.

Istana Tamalate di sini adalah replika dari istana yang asli. Dibangun pada saat Syahrul Yasin Limpo menjadi Bupati Gowa tahun 1980-an. Bahan dan ukurannya disesuaikan dengan aslinya berdasarkan kajian terhadap sejumlah naskah Makassar kuno (lontara) yang menceritakan tentang Istana Tamalate.

Sementara Balla Lompoa adalah istana asli Kerajaan Gowa. Balla Lompoa dalam bahasa Makassar rumah besar atau rumah kebesaran. Fungsi Balla Lompoa adalah museum yang menyimpan simbol-simbol kerajaan, seperti mahkota, senjata, payung raja, pakaian, bendera kebesaran, serta barang-barang lainnya termasuk sejumlah naskah lontara.

Bangunan istana merupakan gabungan dari bangunan-bangunan utama dan pendukung yang saling terhubung. Bangunan dihubungkan dengan sebuah tangga setinggi lebih dari dua meter. Bagian depan bangunana dalah teras, lalu masuk ke ruang utama, dan ruang-ruang lainnya seperti kamar tidur yang pernah digunakan oleh raja.

Jam Buka
Senin-Kamis 08.00-16.00
Jumat 08.00-11.00

Kompleks situs ini dapat dijangkau dengan mudah, dengan angkutan kota, taksi, maupun fasilitas angkutan hotel. Dengan angkutan kota, naik dari Lapangan Karebosi jurusan Sungguminasa turun di depan Balla Lompoa. Bisa juga dengan bus patas AC Damri dari Pasar Panampu.


Kisah Kepulangan La Galigo Ke Cina

Sesudah mengadakan pembicaraan dengan cucu saudari saudaranya (cucu dari Batara Lattu yaiu sodaranya La Pangoriseng) maka La PAngoriseng bersaudara menuju istana Lakko Manurungnge ri Ale Luwu. Diperintahkannya kepada segenap rakyat, untuk berkumpul di depan istana. Setelah seluruhnya berkumpul, mereka kemudian bersama-sama berangkat menuju pelabuhan menjemput paduka yang dipertuan (I Lagaligo) untuk mendarat, menjejakkan kaki dipusat Kerajaan Luwu.

Namanya titah Raja, perintah Sang Penguasa maka dalam sekejap mata saja terlaksanalah seluru titah baginda La Pangoriseng. Berdatanganlah segenap rakyat di negeri Luwu, memenuhi halaman istana raja Luwu.
Rakyat banyak itu riuh rendah, karena bersuka cita atas kedatangan Baginda Yang Mulia yang sebentar lagu akan dijemput dipelabuhan.

Timbullah kembali semangat hidup rakyat luwu, karena datangnya putra mahkota (I La Galigo) Opunna Ware. Lalu berangkatlah I La Galigo sampai ke istana Lakko Manurungnge Mai ri Luwu. Setelah tiba dilihatnya jamuan lengkap, ditunggui oleh puluhan dayang-dayang. Bertanyalah I La Galigo :
“Apa gerangan yang telah terjadi wahai para dayang-dayang, sehingga di sini tersedia jamuan lengkap yang kalian tunggui, padahal tidak ada raja yang duduk dihadapan kalian ?”

Para dayang-dayang lalu menjawab:
“Santapan sehari-hari wahai Paduka yang mulia untuk Baginda (Sawerigading) yang pergi berlayar, mengasingkan dirinya dinegeri yang jauh. Seorang pula yang telah gaib, melayang naik ke Botting-Langi’ (Tenriabeng, adik kembar Sawerigading), menemukan jodoh di Ruwa Lette. Beliaulah yang disiapkan santapannya.”

Berkata I La Galigo:
“Kumpulkan segenap dayang-dayang ini wahai Ina! Janganlah kalian menunggui jamuan, padahal di hadapan kalian tidak ada seorangpun raja yang bersantap.”

Sesudah itu I La Galigo meneruskan langkahnya hingga ke ruangan tempat penyimpanan Genrang mpulaweng Manurungnge Mai ri Luwu. Lalu diraihnya Genrang itu, kemudian ditabuhnya bersama-sama dengan La Sulolipu, suara
genrangnya bertalu-talu. Tak ubahnya bunyi genrang apabila Sawerigading yang menabuh bersama La Pananrang.

Maka bangkitlah Sawerigading di tepat tidurnya, sembari berkata:
“Telah tiba wahai adinda Cudai, putramu di Luwu. Kanda dapat mendengarkan bunyi gendangnya sampai kemari.”

Batara Lattu’ pun menggeliat diatas pembaringannya sambil berkata:
“Telah tiba nian putranda di Luwu, bermukim di tanah leluhurnya Wattang mpare sambil menabuh genrang mpluaweng manurungnge, bersama-sama La Pananrang.”

Berkatalah sang pengiring/pengawal Batara Lattu sambil menghaturkan sembah sujud:
“Konon kabarnya wahai Paduka yang mulia! Dia adalah putranda dari ananda Sawerigading yang berbalasan dengan putranya La Pananrang menabuh genderang di luar.”

Batara Lattu, berkata:
“Suruhlah ia masuk ke dalam kamarku, agar aku bertutur sapa dengan bocah itu.”

Maka berjalanlah I Lagaligo memasuki kamar kakeknya, Batara Lattu. Iapun menghaturkan sembah sujud sebanyak tiga kali, kemudian mengambil tempat duduk dihadapan Batara Lattu. Berkatalah Batara Lattu:
“Tinggallah dikau di Luwu wahai ananda Galigo, menemaniku, selaku oenggati ayahandamu sebagai Pangeran Mahkota di ibu kota kerajaan Luwu.”

I La Galigo menghaturkan sembah sujud sambil berkta:
“Tapak tangan hamba hanya sekedar gumpalan darah, tenggorokan hamba pun tak ubahnya kulit bawang. Semoga nian hamba tidak kualat dalam menjawab titah paduka.”

lanjut La Galigo:
“Mohon restu paduka yang mulia. Hamba tidak dapat tinggal menetap di Luwu ini, sebab adinda We Tenridio’ sedang terserang penyakit parah. Ia mengidap penyakit yang menuntut diadakannya upacara tradisi di negeri Luwu, sebagaimana halnya yang pernah dilakukan bagi Baginda Ratu yang mulia, Mallajangnge ri Kalempi’na. Demikianlah waha Paduka yang mulia, sehingga ayahanda tercinta Opunna Ware menitahkan hamba untuk menjemput Genrang mpulaweng anurungngE di Luwu ini.”

Berkatalah Batara Lattu:
“Kalaupun demikian berangkatlah ke tanah Ugi wahai ananda Galigo untuk mengantarkan Genrang pluaweng ManurungngE. Kelak, setelah selesai penyelenggaraan upacara selamatan bagi We Dio’, kembalilah kemari, untuk menggantikan ayahandamu sebagai penguasa di Wattang mpare.”

Sesudah selesai bertutur sapa dengan kakeknya, I Lagaligo pun melangkah ke luar. Berkisar satu tahun lamanya I Lagaligo tinggal di Luwu menunggui kakek dan ibu-ibu tirinya, barulah I Lagaligo bersama segenap sepupunya dan seluruh pengiringnya berlayar kembali menuju Cina. Diboyonglah Genrang mpulaweng ManurungngE ri Luw bersamanya.

Upacara selamaan We Dio’ pun diselenggarakan. Sudah empat puluh hari empat puluh malam lamanya penduduk bergembira ria di Latanete sambil memanggang kerbau. Berdatanganlah segenap sepupu I Lagaligo yang perempuan untuk menyaksikan keramaian di Latanete.

Pendopo penuh sesak dengan penduduk yang berdatanagan dari seganap penjuru. Tiada terkatakan ramainya suasana di Cina. Para anak-anak Datu yang tujuh puluh orang itu saling bergantian menabuh genderang, sehingga bunyinya pun bertalu-talu tiada hentinya. Tiada sekejappun genderang itu berhenti ditabuh silih berganti. I Lagaligo berpasangan dengan I La Sulolipu, La Pawennari dengan Sida’Manasa To Bulo’E, La Patenrongi dengan I La Pallajareng, dan berpasanganlah La Tenripale To Lamuru’E dengan La Pammusureng.

Para anak datu yang tujuh puluh orang itu tidak kunjung terlelap. Ingin pulalah I Da’Batangeng, Punna Lipu’E Cina Rilau, puteri La Makkasau menyaksikan keramaian di Latanete, maka bertitahlah ibundanya:
“Wahai anada I Da’Batangeng! Janganlah hendaknya ananda berkunjung ke Cina, hanya untuk menyaksikan keramaian di Latanete/Sinukkerenna I La Galigo/dari Luwu/Cobo’-cobonna maccariwakka I La Semmaga, tidak menyegani sesamanya raja, dianggapnya bahwa hanya dirinyalah raja yang berkuasa di kolong langit. Jangan sampai ditahannya usungan tumpanganmu dan tidak dibiarkannya dikau pulang kembali ke negerimu Cina Rilau.”

Berkatalah La Makkasau, ayahanda I Da’Batangeng, bahwa:
“Mengapakah gerangan wahai ibundanya I Da’Batangeng, maka dikau tidak memperkenankan keinginan putrimu pergi ke Cina, untuk menyaksikan keramaian di Latanete.”

Berkata pula Punna Lipu’E Cina Rilau (La MAkkasau):
“Kalaupun ternyata usungannya ditahan I La Galigo pakah salahnya jikalau ia dijodohkan dengan sepupunya itu. Biarlah putri kita pergi ke Cina, menyaksikan keramaian di Latanete.”

Maka berdandanlah I Da’Batangeng, bersalin pakaian yang indah lalu berangkatlah menuju Cina untuk menyaksikan keramaian di Latanete. Hanya dalam sekejap saja maka tibalah usungan yang membawa I Da’Batangeng. Ia lalu turun di depan istana. Ketika itu I La Galigo sedang mengadu ayam di atas arena adu ayam.
Ketika La Galigo menoleh, dilihatnya sepupunya yang sedang turun dari usungan, lalu melangkahkan kaki naik ke istana. Berkatalah La Galigo:
“Siapakah gerangan putri mahkota nan cantik jelita yang barusan tadi tiba dengan usungan ?”

La Pallajareng, menyahut:
“Rupanya dinda Galigo tidak mengenal sepupu kita Punna Lipu’E Cina Rilau. Ia bernama I Da’Batangeng, puteri Baginda La Makkasau.”

Serta merta I La Galigo mencampakkan ayam jagonya lalu bergegas melangkah ke istana untuk menyusul I Da’Batangeng. La Galigo langsung menuju ke atas pelaminan (lamming) menabuh genderang, berpasangan dengan La Sulolipu. Tabuhan genderangnya berbunyi seperti suara manusia:
“Dahului-dahuluilah si orang Walana itu. Cegat, cegatlah si orang Solo’. Dahuluilah bersanding di atas pelaminan emas. Sungguh takkan kubiarkan Punna Lipu’E Cina Rilau kebali kenegerinya. Saya berkeinginan menyandera usungan putri juwita dari Cina Rilau.”

Bergantian pamandanya menasehati La Galigo, demikian pula ayahandanya turut menasehatkan, bahwa:
“Janganlah wahai ananda Semmagga engkau menyandera usungan dari Cina Rilau. Jangan sampai hal itu menurunkan martabat pamndamu La Makkasau. Jikalau susungan putrinya tersandera. Biarkalah sepupumu itu kembali ke kampung halamannya.”

I La Galigo tidak sudi mendengarkan nasehat ayahnya, lalu berkata:
“Perkenankanlah wahai ayahanda adindaku I Da’batangeng tetap tinggal di istana Latanete, sementara itu ayahanda mengirimkan utusan untuk meminangnya pada baginda La Makkasau di Cina Rilau.”

Berbalaslah Sawerigading:
“Mengapakah gerangan wahai ananda Galigo engkau berkeinginan menyandera usungan dari Cina Rilau, padahal kita tidak menguasai wilayah kekuasaan pamandamu. Kita tidak dapat memaksakan kehendak sendiri terhadapnya.”

Namun I La Galigo sudah lupa diri, tidak sudi lagi mendengarkan nasehat.


Mayat Berjalan Tradisi Tanah Toraja

MA’ NENE, TRADISI MENGENANG LELUHUR
KEMUDIAN APAKAH MAYAT YANG DAPAT BERJALAN FAKTA ATAU FIKSI?

20/08/2005 18:00
Liputan6.com, Tana Toraja: Kabut tipis menyelimuti pegunungan Balla, Kecamatan Baruppu, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, pertengahan Agustus silam. Namun, kabut tersebut perlahan mulai tersibak dinginnya angin pagi. Hari ini, kesibukan luar biasa terjadi pada setiap penghuni warga Baruppu. Mereka tengah menggelar sebuah ritual di tempat awal mula sejarah dan misteri anak manusia yang mendiami Kecamatan Baruppu. Ritual yang selalu digelar seluruh warga Baruppu untuk melaksanakan amanah leluhur. Ma`nene, sebuah tradisi mengenang para leluhur, saudara, dan handai taulan lainnya yang sudah meninggal dunia.
… Lihat Selengkapnya
Kisah Ma`nene bermula dari seorang pemburu binatang bernama Pong Rumasek, ratusan tahun lampau. Ketika itu, dirinya berburu hingga masuk kawasan hutan pegunungan Balla. Di tengah perburuannya, Pong Rumasek menemukan jasad seseorang yang meninggal dunia, tergeletak di tengah jalan di dalam hutan lebat. Mayat itu, kondisinya mengenaskan. Tubuhnya tinggal tulang belulang hingga menggugah hati Pong Rumasek untuk merawatnya. Jasad itu pun dibungkus dengan baju yang dipakainya, sekaligus mencarikan tempat yang layak. Setelah dirasa aman, Pong Rumasek pun melanjutkan perburuannya.

Sejak kejadian itu, setiap kali dirinya mengincar binatang buruan selalu dengan mudah mendapatkannya, termasuk buah-buahan di hutan. Kejadian aneh kembali terulang ketika Pong Rumasek pulang ke rumah. Tanaman pertanian yang ditinggalkannya, rupanya panen lebih cepat dari waktunya. Bahkan, hasilnya lebih melimpah. Kini, setiap kali dirinya berburu ke hutan, Pong Rumasek selalu bertemu dengan arwah orang mati yang pernah dirawatnya. Bahkan, arwah tersebut ikut membantu menggiring binatang yang diburunya.

Pong Rumasek pun berkesimpulan bahwa jasad orang yang meninggal dunia harus tetap dimuliakan, meski itu hanya tinggal tulang belulangnya. Maka dari itu, setiap tahun sekali sehabis panen besar di bulan Agustus, setiap penduduk Baruppu selalu mengadakan Ma`nene, seperti yang diamanatkan leluhurnya, mendiang Pong Rumasek.

Bagi masyarakat Baruppu, ritual Ma`nene juga dimaknai sebagai perekat kekerabatan di antara mereka. Bahkan Ma`nene menjadi aturan adat yang tak tertulis yang selalu dipatuhi setiap warga. Ketika salah satu pasangan suami istri meninggal dunia, maka pasangan yang ditinggal mati tak boleh kimpoi lagi sebelum mengadakan Ma`nene. Mereka menganggap sebelum melaksanakan ritual Ma`nene status mereka masih dianggap pasangan suami istri yang sah. Tapi, jika sudah melakukan Ma`nene, maka pasangan yang masih hidup dianggap sudah bujangan dan berhak untuk kimpoi lagi.

Meski warga Baruppu termasuk suku Toraja. Tapi, ritual Ma`nene yang dilakukan setiap tahun sekali ini adalah satu-satunya warisan leluhur yang masih dipertahankan secara rutin hingga kini. Kesetiaan mereka terhadap amanah leluhur melekat pada setiap warga desa. Penduduk Baruppu percaya jika ketentuan adat yang diwariskan dilanggar maka akan datang musibah yang melanda seisi desa. Misalnya, gagal panen atau salah satu keluarga akan menderita sakit berkepanjangan.

Dalam bahasa Bugis, Toraja diartikan sebagai orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan. Namun, masyarakat Toraja sendiri lebih menyukai dirinya disebut sebagai orang Maraya atau orang keturunan bangsawan yang bernama Sawerigading. Berbeda dengan orang Toraja pada umumnya, masyarakat Baruppu lebih mengenal asal usulnya dari Ta`dung Langit atau yang datang dari awan.

Lama kelamaan Ta`dung Langit yang menyamar sebagai pemburu ini menetap di kawasan hutan Baruppu dan kimpoi dengan Dewi Kesuburan Bumi. Karena itu, sering terlihat ketika orang Toraja meninggal dunia, mayatnya selalu dikuburkan di liang batu. Tradisi tersebut erat kaitannya dengan konsep hidup masyarakat Toraja bahwa leluhurnya yang suci berasal dari langit dan bumi. Maka, tak semestinya orang yang meninggal dunia, jasadnya dikuburkan dalam tanah. Bagi mereka hal itu akan merusak kesucian bumi yang berakibat pada kesuburan bumi.

Kali ini, keluarga besar Tumonglo melakukan ritual Ma`nene, seperti tahun-tahun sebelumnya. Sejak pagi, keluarga ini sudah disibukkan serangkaian kegiatan ritual yang diawali dengan memotong kerbau dan babi. Bagi keluarga Tumonglo maupun sebagian besar masyarakat Toraja lainnya pesta adalah bagian yang tak terpisahkan setiap kali menghormati orang yang akan menuju nirwana. Meski mereka sudah banyak yang menganut agama-agama samawi, adat dan tradisi yang diwariskan para leluhurnya ini tak mudah ditinggalkan.

Kini, tiba saatnya keluarga Tumonglo menjalani ritual inti dari Ma`nene. Di bawah kuburan tebing batu Tunuan keluarga ini berkumpul menunggu peti jenazah nenek Biu–leluhur keluarga Tumonglo yang meninggal dunia setahun lalu–diturunkan. Tak jauh dari tebing, kaum lelaki saling bergandengan tangan membentuk lingkaran sambil melantunkan Ma`badong. Sebuah gerak dan lagu yang melambangkan ratapan kesedihan mengenang jasa mendiang yang telah wafat sekaligus memberi semangat pada keluarga almarhum.

Bersamaan dengan itu, peti jenazah pun mulai diturunkan dari lubang batu secara perlahan-lahan. Peti kusam berisi jasad nenek Biu. Keluarga Tumonglo mempercayai bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian. Sejatinya kematian bukanlah akhir dari segala risalah kehidupan. Karena itu, menjadi kewajiban bagi setiap keluarga untuk mengenang dan merawat jasad leluhurnya meski sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Dalam ritual ini, jasad orang mati dikeluarkan kembali dari tempatnya. Kemudian, mayat tersebut dibungkus ulang dengan lembaran kain baru oleh masing-masing anak cucunya.

Di desa Bu`buk, suasananya tak jauh beda dengan desa lainnya di Kecamatan Baruppu. Di tempat ini keluarga besar Johanes Kiding juga akan melakukan Ma`nene terhadap leluhurnya Ne`kiding. Sebelum ke kuburan, masyarakat dan handai taulan berkumpul di pelataran desa di bawah deretan rumah tradisional khas Toraja, Tongkonan.

Pagi itu, mereka disuguhi makanan khas daging babi oleh keluarga besar Johanes untuk disantap beramai-ramai. Setelah selesai, masyarakat, dan handai taulan keluarga Johanes mulai berangkat menuju kuburan nenek moyang. Namun, kuburan yang dituju bukan liang batu seperti umumnya, melainkan Pa`tane yakni rumah kecil yang digunakan untuk menyimpan jasad para leluhur mereka.

Acara dilanjutkan dengan membuka dua peti yang berisi jasad leluhur. Mayat yang sudah meninggal setahun yang lalu itu dibungkus ulang dengan kain baru. Perlakuan itu diyakini atas rasa hormat mereka pada leluhur semasa hidup. Mereka yakin arwah leluhur masih ada untuk memberi kebaikan. Dalam setiap Ma`nene, jasad orang yang meninggal pantang diletakkan di dasar tanah. Karena itu, para sanak keluarga selalu menjaganya dengan memangku jasad leluhurnya. Tak ayal, tangis kepiluan kembali merebak. Mereka meratapi leluhurnya sambil menyebut-nyebut namanya. Jasad yang sudah dibungkus kain baru pun dimasukkan kembali ke dalam rumah Pa`tane. Kini, keluarga Johanes pun telah selesai melaksanakan amanah leluhur.


Bantimurung

A. Selayang PandangBantimurung

Air Terjun Bantimurung merupakan obyek wisata alam di Sulawesi Selatan yang sangat terkenal dan banyak dikunjungi wisatawan. Air terjun ini memiliki lebar 20 meter dan tinggi 15 meter. Airnya yang jernih dan sejuk meluncur dari atas gunung batu dengan deras sepanjang tahun. Di bawah curahan air terjun terdapat sebuah tempat pemandian dari landasan batu kapur yang keras dan tertutup lapisan mineral akibat aliran air selama ratusan tahun. Kedalaman air di pemandian ini antara mata kaki hingga ke pinggang.

Di sebelah kiri air terjun terdapat tangga beton setinggi 10 meter yang merupakan jalan menuju dua gua yang ada di sekitar air terjun, yaitu Gua Mimpi dan Gua Batu.

B. Keistimewaan

Selain memiliki air terjun yang mempesona, kawasan wisata Air Terjun Bantimurung juga menjadi habitat berbagai spesies kupu-kupu yang langka, sehingga penjajah Belanda pernah menjuluki tempat ini sebagai “Kingdom of Butterfly”. Bahkan, seorang naturalis asal Inggris, Alfred Rassel Wallase, pernah tinggal di kawasan ini selama kurang lebih satu tahun (1856-1857) untuk meneliti 150 spesies kupu-kupu yang tergolong langka itu. Hingga saat ini, para pengunjung masih dapat menyaksikan indahnya warna-warni kupu-kupu dengan berbagai spesies yang berterbangan ke sana – ke mari di antara bunga-bunga dan semak-belukar yang memenuhi gunung batu Bantimurung.

C. Lokasi

Air Terjun Bantimurung berada di wilayah Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan.

D. Akses

Obyek wisata Air Terjun Bantimurung terletak sekitar 20 km dari Bandara Hasanuddin, 15 km dari kota Maros, dan 50 km dari Kota Makassar. Obyek wisata ini dapat dicapai dengan menggunakan mobil pribadi dari Kota Makassar sekitar 1 jam. Jika pengunjung berangkat dari Bandara Hasanuddin, perjalanan dapat ditempuh dengan mobil pete-pete (mikrolet) atau bus wisata sekitar 30 menit.


Catatan Sejarah kekaraengan Maros-Pangkep

PANGKEP dan Maros merupakan dua kabupaten di Sulawesi Selatan (Sulsel) yang dihuni etnis Bugis dan Makassar sekaligus. Dalam perjalanan sejarahnya, dua kabupaten ini tidak bisa dilepaskan sejarahnya dari peralihan kekuasaan Kompeni Belanda ke pemerintahan Hindia Belanda, yang mana pada banyak pusat kekuasaan yang dahulunya berbentuk Kerajaan berubah atau diubah menjadi pemerintahan kekaraengan. Hal inilah yang mendasari terciptanya Onderafdeeling di Sulawesi Selatan, yang didasari oleh daerah – daerah yang direbut dan dikuasai langsung oleh Belanda.

Penguasa pada daerah bekas kerajaan tersebut berstatus sebagai “raja tanpa mahkota” (Onttroonde Vorsten). Para karaeng maggau’ (arung mangkaue’) itu diberi gelar Regent oleh Pemerintah Hindia Belanda dan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Daerah – daerah yang tidak langsung dikuasai Belanda kecuali Gowa dan Bone, seperti Luwu, Mandar, Wajo, Soppeng, Tanete, Barru, Sidenreng, dan lainnya, kesemuanya diakui Belanda sebagai anggota sekutu atau negeri sahabat. Berdasarkan perjanjian Bongaya 1667 / 1669 kemudian lazim disebut sebagai afdeeling atau Zelfbesturende – Landschappen. (Benny Syamsuddin, 1985).Rechts – gemeenschappen (Peraturan hukum) yang menetapkan kekuasaan dan pemerintahan Kekaraengan, untuk Onderafdeeling Pangkajene (sekarang Kabupaten Pangkep) diatur dalam Staadsblaad (Lembaran Negara – 1916 No. 352, dimana Onderafdeeling Pangkajene terdiri dari lima district adat – gemeenschap (Kekaraengan) yakni : Segeri, Ma’rang, Labakkang, Pangkajene dan Balocci. Selanjutnya, atas dasar surat “Eeste Gouverneur Sekretaries” 4 Agustus 1917 No. 1863 / I, Gouverneur van Celebes en Onderhorigheden (Gubernur Celebes dan daerah takluknya) mulai memperbaiki dan menata kembali karaeng, arung, opu, dan gallarang – schappen di Celebes Selatan, yang dahulu telah dihapuskan.

Pemerintahan kekaraengan di Pangkep terdiri atas tujuh wilayah adapt gemeenschap. Berdasar surat Gouverneur van Celebes melalui surat tertanggal 11 Mei 1918 No. 86 / XIX, Adatgemeenschap Pangkajene dipecah menjadi dua adat gemeenschap, yakni : Adatgemeenschap Pangkajene dan Adatgemeenschap Bungoro, yang disusul kemudian dengan pemecahan adatgemeenschap Segeri menjadi Adatgemeenschap Segeri dan Mandalle sebagaimana diatur dalam surat tanggal 13 Juli 1918, No. 124 / XIX. (Benny Syamsuddin, 1985). Dengan demikian Onderafdeeling Pangkajene terdiri atas : Mandalle, Segeri, Ma’rang, Labakkang, Bungoro, Pangkajene dan Balocci. Kekaraengan tersebut oleh Pemerintah Hindia Belanda diatur dan dibawahi oleh regent atau karaeng dan Sullawatang. Perlu diketahui bahwa penduduk dari Kekaraengan Mandalle, Segeri, dan Ma’rang sebagian besar terdiri dari Orang – orang Bugis, sedangkan penduduk dari keempat kekaraengan yang lain itu sebahagian besar terdiri Orang – orang Makassar. Untuk Marusu’ (Kabupaten Maros), Pemerintahan kekaraengan sebagaimana catatan Gouvernement Selebes en Onderhoorigheden Afdeeling Makassar mengungkap tentang kekuasaan kekaraengan Toddo Limayya ri Marusu’, termasuk Bontoa yang Sejarah Perjalanan Kekuasaan Kekaraengannya ditulis oleh Saudara Muhammad Aspar. Dalam Randji Silsilah Regent van Bontoa No. 1053 / III, tertanggal 27 Januari 1928 yang ditulis oleh J.AB. van de Broor, seorang pejabat Gouvernement Hindia Belanda disebutkan bahwa kedudukan District Bontoa sama dengan District Maroesoe (baca : Marusu’) dan Toerikale (baca : Turikale) yang kultur dan penghidupan masyarakatnya sangat bergantung dari bertani (pertanian) dan menangkap ikan (perikanan).

Terkhusus Kekaraengan Bontoa, pada Abad Ke XV kekaraengan Bontoa dalam sejarahnya diketahui dibuka oleh I Mannyarang, Putra Karaeng Bangkala (Jene’ponto) yang menjadi utusan Raja Gowa. Namun demikian dalam Lontara Riwayat Karaeng Loe’ Ri Marusu’ tidak menempatkan Bontoa sebagai salah satu wilayah kekuasaan Karaeng Marusu, hal ini dinyatakan dalam Lontara’ (Ditulis I Sahban Daeng Masikki 1889 milik A. Fachry Makkassau, demikian pula halnya yang ditulis oleh W Cummings dalam Reppeading The Histories Of Maros Chronicle). Dalam Lontara’ ini dijelaskan bahwa atas inisiatif Karaeng Marusu’ X, La Mamma Daeng Marewa (1723 – 1779) sehingga terbentuklah ikatan diantara para karaeng (raja) yang berada disekitar wilayah Kerajaan Marusu’ dalam suatu Falsafah Abbulo’ Sibatang, yang selanjutnya dikenal dengan nama Toddo’ Limayya Ri Marusu’, meliputi Marusu’, Simbang, Bontoa, Tanralili dan Raya. Saat ini Sejarah Pemerintahan Kekaraengan di Pangkep dan Sejarah Pemerintahan Kekaraengan di Bontoa Maros, sudah dapat dibaca lewat dua buku yang diterbitkan oleh Pustaka Refleksi (2008 dan 2011). Selayaknya sebuah catatan sejarah. Kedua buku ini tentu masih memerlukan penyempurnaan lewat penelitian mendalam namun paling tidak, kehadiran dua buku ini telah membuka salah satu bagian penting dalam Sejarah Sulawesi Selatan, khususnya dua kabupaten beretnis Bugis dan Makassar sekaligus. (*)


Menelusuri Jejak Datuk Ri Bandang

Enam tahun lalu saat tinggal di Kota Benteng, Selayar, saya tidak pernah berpikir atau diberitahu sekalipun bahwa Gantarang Lalang Bata, adalah kampung pertama yang dijejaki oleh Datuk Ri Bandang. Penganjur Islam yang disebut sebagai orang pertama yang membawa ajaran Muhammad SAW ke jazirah selatan Sulawesi.

Saat itu yang saya tahu bahwa Gantarang Lalang Bata, satu daerah di ketinggian sebelah timur Selayar yang sarat oleh cerita mitos. Ke sananya pun harus berjalan kaki dan mendaki tebing berbatu kapur. Orang-orang yang ke sana, dianjurkan untuk “membenturkan kepalanya” dengan perlahan sebagai pertanda keselamatan. Saat itu, Gantarang Lalang Bata adalah satu kampung kecil yang masih terisolir.Untuk ke sana kita mesti mendaki tangga batu yang di kelilingi tebing rimbun.

Minggu lalu, adalah kedatangan ketiga saya selama setahun terakhir di Selayar setelah meninggalkan daerah ini tahun 2003. Secara kebetulan, saat itu kami mengadakan praktek lapang di Kampung Cini Mabela, Desa Parak. Utara Kota Benteng. Saat peserta sedang berpraktek melakukan observasi desa, saya mengajak pak Haji Ashar, Ruslan, Linda, Mastan untuk menyusuri perbukitan belahan timur.

Tidak terlintas bahwa daerah yang kami tuju adalah juga bagian dari wilayah Gantarang Lalang Bata (GLB), Desa Bontomarannu, Kecamatan Bontomarannu. Di pikiran saya, saat mobil sampai ke ujung jalan utama kami akan berada di puncak Selayar, puncak tertinggi. Tapi tidak, setelah berhenti sejenak di satu kampung, kami mendengar bahwa jika kami berbelok ke kanan maka di situ adalah titik menuju Gantarang Lalang Bata yang terkenal itu.

Setelah berdiskusi dengan kawan akhirnya kami putuskan ke GLB. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.30 waktu Selayar saat kami mulai melintasi jalan berliku dan curam. Tepatnya, pagi menjelang siang di hari jumat di bulan Desember 2009. Kita masih punya waktu satu jam untuk menengok kampung GLB.

Kami melewati jalan kecil walau sudah di aspal rapi. Di kiri jalan terdapat sungai kecil yang airnya tenang. Saat melewati beberapa meter dari belokan kanan jalan kami mulai mendapat jalan yang masih baru. Jalan beton. Di kiri kanan terlihat jurang. Masih terdapat molen campuran pasir semen. Konon beberapa waktu lalu terdapat satu mobil eskavator yang terjungkal ke jurang.

Di kiri, dari kejauhan terlihat teluk kecil, perairan yang terlihat tenang tergambar dari sela-sela pepohonan. Nampak juga beberapa batang pohon yang sepertinya baru saja dibabat, dibakar. Hitam dengan permukaan rata di sebelah kanan jalan. Mobil yang dikemudikan Pak Agus mesti bergerak cepat saat kami menikung di satu titik. Butiran kerikil dan pasir masih terlihat baru.

Akhirnya kami sampai di ujung jalan. Di sebelah kanan terdapat semacam tempat parkir. Di sana ada 10 motor bebek sedang diam. Motor ini adalah kendaraan warga yang diparkir di situ karena memang mereka tidak bisa membawa motornya ke kampung. Mobilpun kami parkir. Di kiri sekali lagi terlihat tebing curam.

Kami lalu mengikuti seorang warga yang sepertinya dari kota dan membawa barang bawaan menaiki tangga alam, menaiki tangga kapur alami yang dijejali akar-akar pohon dan semak-semakin melingkar. Ada sulur-sulur pohon bergelantungan. Pertanda masih alami.

Haji Ashar di depan, diikuti Linda lalu Mastan. Saya dan Ruslan masih terperangah menyaksikan pemandangan indah di kiri kanan kampung. Saya segera onkan kamera mendokumentasikan pemandangan di kiri kanan titik itu. Ruslan duduk mengaso sesekali mengisap segaretnya, terlihat lelah.

Hingga beberapa jenak, kamipun menyusul kawan-kawan. Setelah berjalan sejauh 30 meter kami melewati pekuburan tua. Nisan berwarna seragam dari batu alam. Ada beberapa kuburan yang sudah tidak utuh. Pada dua kuburan yang terlihat cukup besar kami saksikan seorang nenek tua berbaju biru muda lengan panjang. Wajahnya terlihat berpupur. Dia sedang duduk santai. Matanya menatap kami yang berjalan ketengah kampung. Ada dua area kuburan yang kami lewati sebelum sampai ke mesjid tua yang hendak kami tuju.

Kami melewati sekumpulan warga yang sedang kerja membangun panggung pesta keluarga. Kami tersenyum dan mereka juga menyambut dengan senyum. Kami terus ke timur dan sebelum sampai ke mesjid tua kami mendapati satu meriam tua teronggok di atas beberapa bongkahan batu karang tua. Mesjid yang kami tuju atapnya warna hijau tua seperti lazimnya model mesjid tua di tanah Jawa. Terdapat dua lapia atap yang kini terbuat dari seng itu.

Dindingnya terbuat dari batako, sepertinya hasil renovasi. Di kiri mesjid terdapat teras. Inilah mesjid pertama Mesjid Awaluddin,Gantarang. Di belakang mesjid terdapat ruangan luas, sepertinya bangunan tambahan. Di selatan terdapattempat wudhu. Bangunan inti mesjid yang berukuran kurang lebih 8×10 meter ini masih terkesan asli. Terdapat tujuh belas tiang penyangga. Empat diantaranya menyangga puncak mesjid yang berbentuk kubus. Kayu penyangganya terhubung dengan pasak kayu.

Di tengah terdapat satu kayu penyangga, lurus ke puncak kepala mesjid. Jika dihitung jumlah tiang termasuk tiang tengah adalah 17 batang. Ada yang bilang ini persis sama dengan jumlah rakaat shalat.

Setelah melihat sekitar mesjid, dan mengawati bagian dalam Haji Ashar menuju tempat wudhu. Beliau siap shalat sunnat. Setelahnya, saya juga melakukan hal sama, shalat sunnat mesjid. Lalu diikuti Mastan dan Ruslan. Waktu sudah menunjukkan pukul 11.10 waktu Gantarang.

Terasa ada nuansa magis saat mengamati bagian dalam mesjid. Di dekat mimbar khatib terdapat dua kain warna putih, yang dibuat berpasangan selurus arah mimbar. Menurut cerita, ada kepercayaan atau semacam keyakinan bahwa saat ada pembacaan khutbah, “pengaruh” Rasulullah “menyesap” ke dalam alur dan proses khutbah itu.

Selain itu, tiang tengah mesjid yang menopang puncak atap mesjid ujungnya sudah terkelupas. Seperti ada yang sengaja mengelupasnya. “Ada yang percaya bahwa itu mengandung berkah” Kata seorang kawan.

Tidak cukup kami menghabiskan waktu di mesjid, kami lalu bergerak ke arah titip yang oleh warga setempat disebut sebagai “possi tana”. Tempatnya agak di ketinggian, di sana, yang dicirikan oleh batuan kapur tua, terdapat lubang kecil sedalam 20 meter yang di atasnya terdapat palang kayu. Inilah yang dipercaya sebagai pusat bumi.

Diantar pak Iskandar, imam Mesjid Awaluddin kami menuju satu kubu kuburan “kecil”. Panjang antara kedua nisan tidak sampai 50 meter. Inilah yang dipercaya sebagai kuburan Dato Ri Bandang itu. Sekilas tidak ada yang istimewa namun, terkesan bahwa kuburan ini dibiarkan begitu saja. Dibiarkan apa adanya. Tidak ada pagar atau sesuatu sebagai penanda. Di sampingnya terdapat pohon besar dan tua.

Juga tidak ada bukti-bukti tertulis atas segala fakta yang kami temui di tempat ini, di Gantarang. Jika membandingkan sejarah lontarak dan berbagai vesri yang menyebutkan bahwa tahun 1605 Masehi, adalah tahun pertama kalinya, Islam diterima secara resmi di Kerajaan Tallo Gowa. Itu setelah masuknya Raja Tallo I Sultan Abdullah Awwalul Islam dengan Raja Gowa XIV, I Mangarangi Dg Manrabbia Sultan Alauddin pada tanggal 22 September 1605 Masehi.

Versi warga Selayar terkhusus di Gantarang menyebutkan bahwa di Gantaranglah, kali pertama Abdul Makmur alias Datuk Ri Bandang asal Kota Minangkabau menjejakkan kaki. Saat dimana dua tahun kemudian, yakni tahun 1607, seluruh rakyat Tallo dan Gowa telah berhasil diislamkan.

Ada hal lain juga, bahwa masih tidak jelas hubungannya antara Dato Ri Tiro yang terkenal di Bulukumba dan Datuk Ri Bandang yang disebut berdiam di Gowa. Faktanya, terdapat beberapa kampung seperti Gantarang di Bulukumba dan Gantarang di Selayar.

“Konon, menurut cerita warga, setiap ada kampung bernama Gantarang, itu berarti pernah dilalui oleh Datuk Ri Bandang” Kata Ruslan, menirukan warga soal kisah Datuk Ri Bandang. Saya juga pernah dengar ada gosong pasir di Taman Nasional Taka Bonerate bernama Taka Gantarang. Sungguhkah itu? Juga di Bulukumba.

Namun demikian jika membaca sejarah versi H. Syaiful Arif, SH dkk dalam buku “Jelajah Pemerintahan & Pembangunan Selayar, Tumanurung – Akib Patta”, yang (kemudian saya ajak berbincang saat bertemu di Bandara Aroeppala hari jumat tanggal 4), Selayar menyebutkan bahwa tahun 1604 merupakan tahun tahun masuknya Agama Islam di Selayar yang dibawa oleh Datuk Ribandang yang pada masa itu ditandai dengan Islamnya Radja Gantarang Pangali Patta Radja, dan diberi nama oleh Datuk Ri Bandang “Sultan Alauddin” tahun 1605. Pastinya, banyak versi terhadap ketepatan akan 1605 sebagai tahun masuknya Islam ke Selayar. Persis sama dengan apa yang ditulis di Lontarak.

Menurut pak Syaiful juga, ada beberapa kawasan atau daerah yang bersekutu dan menjadi daerah utama siar islam yang menonjol belakangan dan dapat disingkat “Bontomatene”, yaitu Buki, Onto, Batang Mata, dan Tanete. Keempatnya merupakan wilayah yang menjadi pusat-pusat perkembangan wilayah termasuk syiar islam, yang meneruskan siar pertama di Gantarang Lalang Bata itu. Ini masih bersifat tafsir sejarah.

Saat kami berpikir pulang, ada beberapa kesan yang terbersik dari kunjungan ke Gantarang ini. Jika memang benar Dato Ri Bandang datang ke Gantarang, bisa jadi beliau datang dari arah timur. Dari titik di tengah kampung, menurut Imam Iskandar, terdapat dua jalur jalan setapak yang mengarah ke bukti dan tembus ke pantai.

Agak sulit membenarkan jika Dato datang menetap di Gantarang, Selayar dari barat karena di situ adalah jurang terjal, kalaupun membaca perkembangan kampung, terdapat tiga area kuburan yang terdapat “di belakang” kampung. Adalah tidak lazim jika jalur lalu lalang pada saat itu adalah pekuburan. Jalan yang kemudian menjadi jalan utama menghubungkan Gantarang Lalang Bata dengan ibu kota Kabupaten Selayar, Benteng. Wallahu a’lam bissawab.

Pukul 11.30 kami menuruni jalan setapak di Kampung Gantarang Lalang Bata, kami bergegas menuju Kampung Cini Mabela untuk melaksanakan shalat jumat berjamaah.


Kepulauan Selayar dalam hikayat La Tenri Dio

Pulau Selayar, di ujung selatan Pulau Sulawesi penuh daya tarik. Selain karena terpisah dari daratan utama, juga karena kekhasan bahasa, budaya dan induk etnis yang mendiami pulau yang juga dikenal sebagai Tana Doang. Secara geomorfologi dan karakter kebudayaan, walau terpisah, warga Selayar dan Bira di seberang yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Bulukumba nyaris serupa.

Dahulu, Pulau Selayar merupakan tempat persembunyian atau pelarian bagi lawan-lawan politik keluarga kerajaan Gowa, Bone dan beberapa kerajaan kecil di Sulawesi Selatan. Di beberapa pulau kecil, seperti Bonerate, Jampea hingga Kalao Toa malah merupakan persembunyian para pasukan Buton dan kerajaan dari Sulawesi Tenggara lainnya, bahkan Nusatenggara.

Jadi, tidak heran jika di sana, pengaruh etnik Makassar, Bugis, Buton bahkan Mandar sangat terasa.

Kita dapat mengenal nama-nama warga Selayar yang bergelar Andi, Karaeng, Opu, Daeng dan Ince bahkan beberapa tokoh penting, baik pengusaha, birokrat dan tokoh panutan warga malah merupakan akulturasi warga keturunan Cina dan Makassar atau suku lainnya. Bukan hanya saat ini tetap jauh sebelum lahirnya Indonesia.

Bahkan beberapa warga yang saya wawancarai Selayar menyebutkan bahwa pluralitas dan sikap egaliter mereka sekarang ini sangat dipengaruhi oleh bentukan sejarah para pendatang dari Gowa dan Bone. Eksodus yang membutuhkan pencerahan dan kebebasan politik saat itu.

“Banyak keluarga raja-raja di Selayar dulu yang menikah dengan wanita-wanita keturunan pendatang dari tanah Tiongkok” Kata Sarbini yang mengantar saya menyusuri kampung-kampung pedalaman kala itu. Bisa jadi benar, pada beberapa kesempatan saya berkenalan dengan warga Selayar yang bergelar Andi namun matanya terlihat sangat sipit.

Selayar merupakan tempat persinggahan para pedagang beberapa abad silam dari daratan Tiongkok (Cina). Bukti peninggalan nekara gong dan jangkar raksasa di Kampung Padang adalah salah satu bukti sejarahnya.

Mengunjungi Selayar berarti mengunjungi kawasan yang mempunya daya tarik dan magis kebudayaan purba (seperti Komunitas Ito Toweq di selatan Kota Benteng), komunitas ini dikenal pernah tinggal di bukit-bukit dan menyimpan mayat di gua batu. Juga, juga eksotisme sumberdaya alam yang masih belum sepenuhnya terjamah, pesona bahari, pegunungan yang dingin dan asri, dan keragaman vegetasi darat laut.

Selayar seperti cabang-cabang sejarah yang dibentuk dan diadaptasi oleh lingkungan khas kepulauan. Banyak sekali peninggalan sejarah yang sangat menarik untuk diteliti oleh berbagai pihak. Beberapa diantaranya adalah kisah Datok Ribandang di Gantarang, Hikayat Tenri Dio yang disebut sebagai anak turunan Sawerigading. Peninggalan sejarah seperti kuburan-kuburan di gua, nekara, jangkar raksaaa dan lain sebagainya. Ada beberapa catatan tentang kisah nekara dan jangkar raksasa ini.

***
Tanggal 28 Mei 2010, ditemani oleh Sarbini alias Ben, kami menyusuri sisi timur Kota Benteng, ibukota Selayar. Hal pertama yang ingin saya lihat adalah mengunjungi Kampung Huluk yang dari sana, dapat memandang hamparan laut bagian timur dan barat Selayar.

Dalam perjalanan, dengan tak terduga saya melewati beberapa kuburan tua. Bukan kuburan dengan nisan di utara, atau menghadap kiblat layaknya kuburan yang jamak dijumpai di Selayar tetapi nisan dan terlihat sebagai kuburan yang dibangun sebelum datangnya ajaran Islam ke Bumi Tana Toang.

Beberapa kuburan yang saya temui adalah yang bergelar kuburan si “Lelaki Berdarah Putih” di sisi kiri jalan menuju Huluk. Beberapa meter dari situ terdapat satu makam di ketinggian persis di kanan jalan.

“Itu adalah kuburan I Muri I La Judiu Nikana La Tenri Dio atau biasa di sebut La Tenri Dio, anak Sawerigading. Menurut bahasa setempat disebut Si Yang Tak Mandi” Kata Pak Usman yang kami jumpai di Rea Rea.

Sawerigading, bagi sebagian warga Luwu atau Sulawesi Selatan dikenal sebagai tokoh penting yang diceritakan dalam kisah La Lagaligo. Orang mengenalnya sebagai sosok luar biasa dan mempunyai kekuatan digdaya. Sawerigading seperti dikutip dari cerita La Galigo bersaudara dengan We Tenriabeng. Sawerigading dikisahkan pergi berlayar dan berkeliling di beberapa pulau bahkan sampai ke negeri Tiongkok.

Bertahun-tahun kemudian, dikisahkan dia punya anak seperti yang diyakini beberapa warga Selayar yang kemudian singgah dan menetap di Selayar. Itulah Tenri Dio.

Di kompleks makam mini yang saya lalui itulah terdapat kuburan La Tenri Dio, anak Sawerigading. Ada empat kuburan, ada kuburan kecil yang tidak jelas siapa di dalamnya, yang satunya adalah kuburan Tenri Dio, Suaminya dan kuburan di dekat jalanan menurun, atau dikenal sebagai Si Yang Bersuara Besar atau Gallarrang Bakka Sa’ra.

“Tenri Dio dikenal sebagai seorang yang sangat disayangi oleh Tuhan dan bahkan tanpa mandipun tetap sehat dan kuat. Saat berkuasanya Tenri Dio, padi belum ditumbuk tetapi dikupas, coba bayangkan berapa lama mereka mengupas beras itu,” Kata Pak Usman.

“Memahami kisah La Tenri Dio tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman komunitas di Kampung Tana Tappu, dan tumbuh kembangnya wilayah kerajaan Puta Bangun dan bagaimana kerajaan itu bermula dan berkembang,” Kata Pak Usman. “Di sekitar makam konon terdapat meriam yang telah tertata dengan baik untuk menghalau musuh dari ketinggian wilayah Selayar,” Katanya lagi.

“Pun pemilihan kawasan Puta Bangun sebagai pusat kerajaan di Selayar karena tepat di tengah-tengahnya Selayar,” Kata pak Usman yang saat itu sedang menunggu waktu shalat Jumat di Rea Rea.

“Saat Kampung Gantarang telah dimasuki ajaran Islam, kawasan Puta Bangun belum masuk Islam. Ada beberapa kampung yang menunjukkan beberapa bagian yang berfungsi sebagai tempat mengikat babi,” Kata Pak Usman

La Tenri Dio adalah anak tengah dari Sawerigading, yang menguasai wilayah Selayar. Dia menuju Selayar setelah mendapat izin dari orang tuanya untuk mengembara dan mengembangkan kekuasaannya. La Tenri Dio bersuamikan Lalaki Sigayya. Inilah yang mengisi kuburan di sebelah selatan atau di kaki kubur La Tenri Dio. LaTenri Dio dan keluarga tinggal di Puta Bangun. Itulah cikal Kerajaan Puta Bangun yang tertua di Selayar.

Kini makam, La Tenri Dio, Lalaki Sigayya dan Gallarrang Bakka Sara sedang direnovasi oleh salah satu kontraktor dari Benteng. Mereka memasang paving blok dan pagar batu saat saya sampai di sana.

Tidak banyak cerita atau kupasan sejarah tentang kiprah La Tenri Dio karena peninggalannya belum dikaji secara mendalam. Padahal ada beberapa yang menarik diantaranya, model kuburannya yang bernisan laksana layar. Lumut yang memadat di nisan dan batu kuburan terlihat terang karena semalam hujan. Jarak kuburan juga sangat panjang hingga lima meter dengan batu-batu alam yang kuat. Dari sini terlihat pemandangan Pulau Selayar hingga jauh ke selatan.

Di ranah keragaman budaya atau kandungan makna nukilan kisah purbakala, kuburan yang diyakini milik La Tenri Dio ini masih pantas untuk dikaji ulang, setidaknya mencari pertautan hubungan antara defenisi purba, sejarah, dan situasi kontemporer. Jika melihat fakta bahwa warga masih menyimpan harapan kepada kuburan itu dengan berdoa dan menaruh sesajen dapat disebut bahwa pertautan kisah dan sikap warga jelas berkaitan.

Jika benar, pemerintah kabupaten Selayar atau pihak-pihak yang selalu menasbihkan diri sebagai pemerhati sejarah, seperti perguruan tinggi, atau LSM yang peduli kearifan lokal, maka kisah dan peninggalan kuburan La Tenri Dio ini merupakan tantangan untuk mempertegas keunggulan budaya lokal itu. Hal yang selalu mereka perjuangkan.

Bagaimana pun, sejarah seperti kisah tertulis dan tutur warga itu sangat berpengaruh pada situasi kontemporer warga. Seperti yang saya lihat saat datang ke sana, beberapa warga masih menyimpan telur, sesajen dan kemiri. Entah apa yang mereka harapkan. Ada yang tertarik menggali lebih dalam kisah menarik ini?


Sejarah kota soppeng

Hari Ulang Tahun Kab. Soppeng sebelumnya ditetapkan pada 13 Maret 1957 yang bertumpu pada keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1954 tentang pembentukan Daerah Otonom Bone, Wajo dan Soppeng di pandang menyimpang dari obyektivitas sejarah. Oleh karena itu sejumlah cendekiawan melakukan usun rembuk kajian sejarah yang makin dipertajam. Kesimpulan yang dihasilkan, hari ulang tahun Kab. Soppeng mesti merangkai benang merah masa lalu dengan perhitungan pelantikan LATEMMALA MANURUNG’E RI SEKKANYILIK yang menjadi Raja pertama Kab. Soppeng pada tahun 1261. Ikhwal penetapan tanggal dan bulan ditarik dari saat-saat yang memiliki makna tertentu, penetapan tanggal 23 dimaksudkan sebagai “Dua Tellu” yang berarti beberapa orang yang memiliki kebersamaan persatuan dan kesatuan (tidak sendirian). Adapun momentum bulan Maret sebagai pelantikan Bupati yang pertama sepanjang sejarah berdirinya Kabupaten Soppeng.

SEJARAH TERBENTUKNYA KERAJAAN SOPPENG

Soppeng adalah sebuah kota kecil dimana dlm buku-buku lontara terdapat catatan tentang raja-raja yg pernah memerintah sampai berahirnya status daerah Swapraja, satu hal menarik sekali dalam lontara tsb bahwa jauh sebelum terbentuknya kerajaan Soppeng, telah ada kekuasaan yg mengatur daerah Soppeng, yaitu sebuah pemerintahan berbentuk demokrasi karena berdasar atas kesepakatan 60 pemukan masyarakat, namun saat itu Soppeng masih merupakan daerah yang terpecah-pecah sebagai suatu kerajaan2 kecil. Hal ini dapat dilihat dari jumlah Arung,Sulewatang, dan Paddanreng serta Pabbicara yang mempunyai kekuasaan tersendiri. Setelah kerajaan Soppeng terbentuk maka dikoordinir oleh Lili-lili yang kemudian disebut Distrikvdi Zaman Pemerintahan Belanda.


Sinjai Berkuda

Kabupaten Sinjai mempunyai nilai histories tersendiri, dibanding dengan kabupaten-kabupaten yang di Propinsi Sulawesi Selatan. Dulu terdiri dari beberapa kerajaan-kerajaan, seperti kerajaan yang tergabung dalam federasi Tellu Limpoe dan Kerajaan – kerajaan yang tergabung dalam federasi Pitu Limpoe.
Tellu limpoe terdiri dari kerajaan-kerajaan yang berada dekat pesisir pantai yakni Kerajaan yakni Tondong, Bulo-bulo dan Lamatti, serta Pitu Limpoe adalah kerajaan-kerajaan yang berada di daratan tinggi yakni Kerajaan Turungen, Manimpahoi, Terasa, Pao, Manipi, Suka dan bala Suka.
Watak dan karakter masyarakat tercermin dari system pemerintahan demokratis dan berkedaulatan rakyat. Komunikasi politik di antara kerajaan-kerajaan dibangun melalui landasan tatanan kesopanan Yakni Sipakatau yaitu Saling menghormati, serta menjunjung tinggi nilai-nilai konsep “Sirui menre’ tessirui no’ yakni saling menarik ke atas, pantang saling menarik ke bawah, mallilu sipakainge yang bermakna bila khilaf saling mengingatkan.
Sekalipun dari ketiga kerajaan tersebut tergabung ke dalam Persekutuan Kerajaan Tellu Limpo’e namun pelaksanana roda pemerintahan tetap berjalan pada wilayahnya masing-masing tanpa ada pertentangan dan peperangan yang terjadi diantara mereka.
Bila ditelusuri hubungan antara kerajaan-kerajaan yang ada di kabupaten Sinjai di masa lalu, maka nampaklah dengan jelas bahwa ia terjalin dengan erat oleh tali kekeluargaan yang dalam Bahasa Bugis disebut SIJAI artinya sama jahitannya.
Hal ini diperjelas dengan adanya gagasan dari LAMASSIAJENG Raja Lamatti X untuk memperkokoh bersatunya antara kerajaan Bulo-Bulo dan Lamatti dengan ungkapannya “ PASIJA SINGKERUNNA LAMATI BULO-BULO artinya satukan keyakinan Lamatti dengan Bulo-Bulo, sehingga setelah meninggal dunia beliau digelar dengan PUANTA MATINROE RISIJAINA.
Eksisensi dan identitas kerajaan-kerajaan yang ada di Kabupaten Sinjai di masa lalu semakin jelas dengan didirikannya Benteng pada tahun 1557. Benteng ini dikenal dengan nama Benteng Balangnipa, sebab didirikan di Balangnipa yang sekarang menjadi Ibukota Kabupaten Sinjai.
Disamping itu, benteng ini pun dikenal dengan nama Benteng Tellulimpoe, karena didirikan secara bersama-sama oleh 3 (tiga) kerajaan yakni Lamatti, Bulo-bulo, dan Tondong lalu dipugar oleh Belanda melalui perang Manggarabombang.
Agresi Belanda tahun 1859 – 1561 terjadi pertempuran yang hebat sehingga dalam sejarah dikenal nama Rumpa’na Manggarabombang atau perang Mangarabombang, dan tahun 1559 Benteng Balangnipa jauth ke tangan belanda
Tahun 1636 orang Belanda mulai datang ke daerah Sinjai. Kerajaan-kerajaan di Sinjai menentang keras upaya Belanda untuk mengadu domba menentang keras upaya Belanda unntuk memecah belah persatuan kerajaan-kerajaan yang ada di suilawesi Selatan. Hal ini mencapai puncaknya dengan terjadinya peristiwa pembunuhan terhadap orang-orang Belanda yang mencoba membujuk Kerajaan Bulo-bulo untuk melakukan peran terhadap kerajaan Gowa.
Peristiwa ini terjadi tahun 1639. hal ini disebabkan oleh rakyat Sinjai tetap perpegan teguh pada PERJANJIAN TOPEKKONG.
Tahun 1824 Gubernur Jenderal Hindia Belanda VAN DER CAPELLAN datang dari Batavia untuk membujuk I CELLA ARUNG Bulo-Bulo XXI agar meneria perjanjian Bongaya dan mengisinkan Belanda Mendirikan Loji atau Kantor Dagan di Lappa tetapi ditolah dengan tegas.
Tahun 1861 berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi dan Daerah, takluknya wilayah Tellulimpoe Sinjai dijadikan satu wilayah pemerintahan dengan sebutan Goster Districten.
Tangga 24 pebruari 1940, Gubernur Grote Gost menetapkan pembangian administratif untuk daerah timur termasuk residensi Celebes, dimana Sinjai bersama-sama beberapa kabupaten lainnya berstatus sebagai Onther Afdeling Sinnai terdiri dari beberapa adats Gemenchap, yaitu Cost Bulo-bulo, Tondong, Manimpahoi, Lamatti West, Bulo-bulo, Manipi dan Turungeng.
Pada masa pendudukan Jepang, struktur pemerintahan dan namanya ditatah sesuai dengaan kebutuhan Bala Tentara Jepang yang bermarkas di Gojeng.
Setelah proklamasi kemerdekaan 1945 yakni tanggal 20 Oktober 1959 Sinjai resmi menjadi sebuah kabupaten berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 1959
Dan pada tanggal 17 Pebruari 1960 Abdul Latief dilantik menjadi Kepala Daerah Tingak II Sinjai yang Pertama.
Hingga saat ini Kabupaten Sinjai telah dinahkodai oleh 7 (tujuh) orang putra terbaik yakni dan saat ini Kabupaten Sinjai dipimpin oleh Bapak Andi Rudiyanto Asapa, SH, MH.
Dengan motto SINJAI BERSATU Kabupaten sinjai terus maju dan berkembang menuju masa depan yang cerah…………..!!!