Kamis, 20 Oktober 2011

Kepulauan Selayar dalam hikayat La Tenri Dio

Pulau Selayar, di ujung selatan Pulau Sulawesi penuh daya tarik. Selain karena terpisah dari daratan utama, juga karena kekhasan bahasa, budaya dan induk etnis yang mendiami pulau yang juga dikenal sebagai Tana Doang. Secara geomorfologi dan karakter kebudayaan, walau terpisah, warga Selayar dan Bira di seberang yang masuk wilayah administrasi Kabupaten Bulukumba nyaris serupa.

Dahulu, Pulau Selayar merupakan tempat persembunyian atau pelarian bagi lawan-lawan politik keluarga kerajaan Gowa, Bone dan beberapa kerajaan kecil di Sulawesi Selatan. Di beberapa pulau kecil, seperti Bonerate, Jampea hingga Kalao Toa malah merupakan persembunyian para pasukan Buton dan kerajaan dari Sulawesi Tenggara lainnya, bahkan Nusatenggara.

Jadi, tidak heran jika di sana, pengaruh etnik Makassar, Bugis, Buton bahkan Mandar sangat terasa.

Kita dapat mengenal nama-nama warga Selayar yang bergelar Andi, Karaeng, Opu, Daeng dan Ince bahkan beberapa tokoh penting, baik pengusaha, birokrat dan tokoh panutan warga malah merupakan akulturasi warga keturunan Cina dan Makassar atau suku lainnya. Bukan hanya saat ini tetap jauh sebelum lahirnya Indonesia.

Bahkan beberapa warga yang saya wawancarai Selayar menyebutkan bahwa pluralitas dan sikap egaliter mereka sekarang ini sangat dipengaruhi oleh bentukan sejarah para pendatang dari Gowa dan Bone. Eksodus yang membutuhkan pencerahan dan kebebasan politik saat itu.

“Banyak keluarga raja-raja di Selayar dulu yang menikah dengan wanita-wanita keturunan pendatang dari tanah Tiongkok” Kata Sarbini yang mengantar saya menyusuri kampung-kampung pedalaman kala itu. Bisa jadi benar, pada beberapa kesempatan saya berkenalan dengan warga Selayar yang bergelar Andi namun matanya terlihat sangat sipit.

Selayar merupakan tempat persinggahan para pedagang beberapa abad silam dari daratan Tiongkok (Cina). Bukti peninggalan nekara gong dan jangkar raksasa di Kampung Padang adalah salah satu bukti sejarahnya.

Mengunjungi Selayar berarti mengunjungi kawasan yang mempunya daya tarik dan magis kebudayaan purba (seperti Komunitas Ito Toweq di selatan Kota Benteng), komunitas ini dikenal pernah tinggal di bukit-bukit dan menyimpan mayat di gua batu. Juga, juga eksotisme sumberdaya alam yang masih belum sepenuhnya terjamah, pesona bahari, pegunungan yang dingin dan asri, dan keragaman vegetasi darat laut.

Selayar seperti cabang-cabang sejarah yang dibentuk dan diadaptasi oleh lingkungan khas kepulauan. Banyak sekali peninggalan sejarah yang sangat menarik untuk diteliti oleh berbagai pihak. Beberapa diantaranya adalah kisah Datok Ribandang di Gantarang, Hikayat Tenri Dio yang disebut sebagai anak turunan Sawerigading. Peninggalan sejarah seperti kuburan-kuburan di gua, nekara, jangkar raksaaa dan lain sebagainya. Ada beberapa catatan tentang kisah nekara dan jangkar raksasa ini.

***
Tanggal 28 Mei 2010, ditemani oleh Sarbini alias Ben, kami menyusuri sisi timur Kota Benteng, ibukota Selayar. Hal pertama yang ingin saya lihat adalah mengunjungi Kampung Huluk yang dari sana, dapat memandang hamparan laut bagian timur dan barat Selayar.

Dalam perjalanan, dengan tak terduga saya melewati beberapa kuburan tua. Bukan kuburan dengan nisan di utara, atau menghadap kiblat layaknya kuburan yang jamak dijumpai di Selayar tetapi nisan dan terlihat sebagai kuburan yang dibangun sebelum datangnya ajaran Islam ke Bumi Tana Toang.

Beberapa kuburan yang saya temui adalah yang bergelar kuburan si “Lelaki Berdarah Putih” di sisi kiri jalan menuju Huluk. Beberapa meter dari situ terdapat satu makam di ketinggian persis di kanan jalan.

“Itu adalah kuburan I Muri I La Judiu Nikana La Tenri Dio atau biasa di sebut La Tenri Dio, anak Sawerigading. Menurut bahasa setempat disebut Si Yang Tak Mandi” Kata Pak Usman yang kami jumpai di Rea Rea.

Sawerigading, bagi sebagian warga Luwu atau Sulawesi Selatan dikenal sebagai tokoh penting yang diceritakan dalam kisah La Lagaligo. Orang mengenalnya sebagai sosok luar biasa dan mempunyai kekuatan digdaya. Sawerigading seperti dikutip dari cerita La Galigo bersaudara dengan We Tenriabeng. Sawerigading dikisahkan pergi berlayar dan berkeliling di beberapa pulau bahkan sampai ke negeri Tiongkok.

Bertahun-tahun kemudian, dikisahkan dia punya anak seperti yang diyakini beberapa warga Selayar yang kemudian singgah dan menetap di Selayar. Itulah Tenri Dio.

Di kompleks makam mini yang saya lalui itulah terdapat kuburan La Tenri Dio, anak Sawerigading. Ada empat kuburan, ada kuburan kecil yang tidak jelas siapa di dalamnya, yang satunya adalah kuburan Tenri Dio, Suaminya dan kuburan di dekat jalanan menurun, atau dikenal sebagai Si Yang Bersuara Besar atau Gallarrang Bakka Sa’ra.

“Tenri Dio dikenal sebagai seorang yang sangat disayangi oleh Tuhan dan bahkan tanpa mandipun tetap sehat dan kuat. Saat berkuasanya Tenri Dio, padi belum ditumbuk tetapi dikupas, coba bayangkan berapa lama mereka mengupas beras itu,” Kata Pak Usman.

“Memahami kisah La Tenri Dio tidak bisa dipisahkan dengan pemahaman komunitas di Kampung Tana Tappu, dan tumbuh kembangnya wilayah kerajaan Puta Bangun dan bagaimana kerajaan itu bermula dan berkembang,” Kata Pak Usman. “Di sekitar makam konon terdapat meriam yang telah tertata dengan baik untuk menghalau musuh dari ketinggian wilayah Selayar,” Katanya lagi.

“Pun pemilihan kawasan Puta Bangun sebagai pusat kerajaan di Selayar karena tepat di tengah-tengahnya Selayar,” Kata pak Usman yang saat itu sedang menunggu waktu shalat Jumat di Rea Rea.

“Saat Kampung Gantarang telah dimasuki ajaran Islam, kawasan Puta Bangun belum masuk Islam. Ada beberapa kampung yang menunjukkan beberapa bagian yang berfungsi sebagai tempat mengikat babi,” Kata Pak Usman

La Tenri Dio adalah anak tengah dari Sawerigading, yang menguasai wilayah Selayar. Dia menuju Selayar setelah mendapat izin dari orang tuanya untuk mengembara dan mengembangkan kekuasaannya. La Tenri Dio bersuamikan Lalaki Sigayya. Inilah yang mengisi kuburan di sebelah selatan atau di kaki kubur La Tenri Dio. LaTenri Dio dan keluarga tinggal di Puta Bangun. Itulah cikal Kerajaan Puta Bangun yang tertua di Selayar.

Kini makam, La Tenri Dio, Lalaki Sigayya dan Gallarrang Bakka Sara sedang direnovasi oleh salah satu kontraktor dari Benteng. Mereka memasang paving blok dan pagar batu saat saya sampai di sana.

Tidak banyak cerita atau kupasan sejarah tentang kiprah La Tenri Dio karena peninggalannya belum dikaji secara mendalam. Padahal ada beberapa yang menarik diantaranya, model kuburannya yang bernisan laksana layar. Lumut yang memadat di nisan dan batu kuburan terlihat terang karena semalam hujan. Jarak kuburan juga sangat panjang hingga lima meter dengan batu-batu alam yang kuat. Dari sini terlihat pemandangan Pulau Selayar hingga jauh ke selatan.

Di ranah keragaman budaya atau kandungan makna nukilan kisah purbakala, kuburan yang diyakini milik La Tenri Dio ini masih pantas untuk dikaji ulang, setidaknya mencari pertautan hubungan antara defenisi purba, sejarah, dan situasi kontemporer. Jika melihat fakta bahwa warga masih menyimpan harapan kepada kuburan itu dengan berdoa dan menaruh sesajen dapat disebut bahwa pertautan kisah dan sikap warga jelas berkaitan.

Jika benar, pemerintah kabupaten Selayar atau pihak-pihak yang selalu menasbihkan diri sebagai pemerhati sejarah, seperti perguruan tinggi, atau LSM yang peduli kearifan lokal, maka kisah dan peninggalan kuburan La Tenri Dio ini merupakan tantangan untuk mempertegas keunggulan budaya lokal itu. Hal yang selalu mereka perjuangkan.

Bagaimana pun, sejarah seperti kisah tertulis dan tutur warga itu sangat berpengaruh pada situasi kontemporer warga. Seperti yang saya lihat saat datang ke sana, beberapa warga masih menyimpan telur, sesajen dan kemiri. Entah apa yang mereka harapkan. Ada yang tertarik menggali lebih dalam kisah menarik ini?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar